CISARUA, PortalPasundan.com — Warga menilai kerusakan alam di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, sudah diambang batas. Menyikapi kondisi ini, warga Bogor bakal menggelar aksi satu juta tanda tangan menolak alih fungsi lahan di Puncak.
Gerakan satu juta tanda tangan ini bakal digelar di Simpang Gadog, Jalan Raya Puncak, pada Sabtu 10 Agustus 2024.
Dalam aksinya, warga dari berbagai kalangan serta para aktivis lingkungan akan meminta tanda tangan penolakan alih fungsi lahan kepada para pengendara dan penumpang yang melintas di Jalan Raya Puncak. Aksi sejuta tanda tangan ini sebetulnya juga sudah dimulai di jejaring media sosial.
“Melalui gerakan kemanusiaan ini, rakyat sangat berharap kepada Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah Pusat serta para wakil rakyat untuk segera menghentikan alih fungsi di kawasan Puncak yang sudah sangat menguatirkan,” ungkap Ketua Aliansi Masyarakat Bogor Selatan (AMBS), Muhsin, Senin (29/7/2024).
Menurutnya, dalam aksi tersebut AMBS akan turun bersama ulama, santri, pelajar, tokoh aktivis, LSM, organisasi masyarakat, budayawan, dan tokoh masyarakat dan tokoh pemuda.
Muhsin menyampaikan, perkebunan teh yang dikelola PTPN dan PT SSBP di Cisarua saat ini seharusnya dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau. “Bukan malah diobral dijadikan tempat wisata dengan dalih telah ada Kerja Sama Operasi (KSO). Ini sangat membahayakan karena bencana alam di Puncak sudah beberapa kali terjadi. Longsor, banjir bandang, dan kekeringan,” paparnya.
“Kami mendukung penertiban terhadap bangunan-bangunan pedagang yang dilakukan oleh Pemkab Bogor belum lama ini. Namun pemerintah juga harus adil, bangunan komersil orang-orang berduit juga harus disikat tanpa tebang pilih. Termasuk semua vila yang berdiri tanpa izin,” tegas Muhsin.
Disoroti WALHI Jabar
Perubahan alih fungsi lahan di Puncak dari semula sebagai daerah tangkapan air menjadi kawasan wisata juga disoroti tajam Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat.
Dalam suatu kesempatan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin Iwang, menyampaikan bahwa telah terjadi kerusakan bentang alam di Jawa Barat, khususnya di Puncak yang tengah digempur perubahan tata ruang.
“Perubahan tata ruang akibat proyek PSN dan perizinan-perizinan yang dikeluarkan pemerintah berpengaruh terhadap bentang alam. Perubahan fungsi kawasan atau penyusutan tutupan lahan oleh jenis-jenis wisata alam, bisnis-bisnis properti seperti hotel, vila, resort, dan sejenisnya mempengaruhi bentang alam kawasan, perubahan iklim, dan deforestasi,” jelas Iwang.
WALHI berharap pemerintah pusat maupun daerah lebih tegas terhadap bangunan-bangunan liar di kawasan resapan air tersebut. “Penertiban seharusnya dilakukan secara berkala dan tidak gimik, tidak pencitraan. Harus tegas, ditertibkan, dan dikembalikan fungsinya. Kalaupun ada izin yang membolehkan untuk membangun wisata di wilayah Puncak harus mempertimbangkan daya dukung daya tampung kawasan Puncak, ada upaya reforestasi, mengembalikan atau menghutankan kembali kawasan tersebut sebagai paku bumi untuk kawasan Cianjur Sukabumi dan Bogor,” tandasnya.
Iwang juga menyinggung soal kebijakan dan perizinan Hak Guna Usaha (HGU) yang diindikasikan 70 persen diberikan kepada pihak swasta.
“Seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah bagaimana kawasan-kawasan HGU yang izin-izinnya habis diberikan hak pengelolaannya kepada rakyat, untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat untuk kesejahteraan rakyat. Bukan dibisniskan, diprivatisasi, dengan mengeluarkan izin-izin baru kepada swasta di sektor wisata alam atau tambang,” tegasnya.
Rekomendasi FWI
Kerusakan alam Puncak juga disoroti Forest Watch Indonesia (FWI). Untuk menyelamatkan fungsi tata kelola air yang tersisa di Puncak, khususnya DAS Ciliwung FWI menyerukan kepada pemerintah untuk:
1. Melakukan revisi tata-ruang wilayah Provinsi Jawa Barat sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008.
2. Secara konsekuen menerapkan aturan perlindungan di Kawasan Puncak melalui:
o Penghentian pemberian izin mendirikan bangunan dan pengurusan sertifikat
maupun surat keterangan tanah.
o Menindak-tegas penyimpangan atas penggunaan kawasan lindung sebagai areal kebun dan rumah peristirahatan, tanpa pandang bulu.
3. Segera merehabilitasi lahan-lahan terbuka di Kawasan Puncak dengan jenis-jenis pohon hutan yang ramah air.
FWI membeberkan, kawasan Puncak di Kabupaten Bogor memegang peranan yang sangat vital bagi banyak daerah
yang berada di bawahnya. Kawasan hutan lindung Puncak menjadi penyedia air utama untuk 3 DAS, yaitu Ciliwung, Kali Bekasi, dan Citarum.
Kawasan ini berperan mengairi daerah-daerah lumbung pangan Jawa Barat di
Jonggol, Klapanunggal, dan terutama persawahan di Pantura (Kabupaten
Bekasi dan Karawang).
Perlindungan kawasan Puncak juga telah termuat dalam banyak peraturan. Yakni, PP No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional disebutkan bahwa Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Selanjutnya dalam Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur.
Kemudian dalam pasal 3, 6 dan 18 Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa keberadaan kawasan hutan yang optimal mempunyai luasan yang cukup dan sebaran proporsional, minimal 30% dari luas DAS dan atau pulau. Pasal 17 Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang semakin mempertegas bahwa luasan
dari kawasan hutan dalam suatu tata ruang wilayah paling sedikit 30 persen dari DAS.
Perda Provinsi Jabar No. 22 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi menetapkan angka 45% dari wilayahnya untuk menjadi kawasan lindung pada tahun 2018 (pasal 26) dan 30% minimum untuk setiap DAS.
Kondisi penataan ruang dan DAS
Kabupaten Bogor menjadi sorotan berbagai kalangan, akibat rencana revisi tata ruang 2005-2025 yang diwacanakan. Di mana kawasan hutan lindung akan dikembalikan penataannya menjadi kawasan hutan produksi tetap dan area penggunaan lain, mengacu pada RTRW Provinsi Jabar.
Sesuai data FWI, kehilangan tutupan hutan di Kabupaten Bogor mencapai 24,6% (73.591 ha) dan tutupan hutan tersisa 13,7% (40.991 ha).
Dari enam DAS di Kabupaten Bogor yang menghilir ke Provinsi DKI Jakarta, hanya
DAS Ciliwung yang memiliki tutupan hutan, itu pun hanya seluas 3.565 ha (12,22%). Secara total prosentase tutupan hutan dari enam buah DAS yang menghilir ke Provinsi DKI Jakarta hanya
4,30%, sangat kritis untuk menyangga Jakarta.
(MUL)