migrasi

Memahami Doa Miskin Rasulullah

portalpa - Selasa, 23 Juli 2024 | 19:29 WIB

ilustrasi miskin kaya.
ilustrasi miskin kaya.

BOGOR, PortalPasundan.com — Di antara sekian banyak do’a-do’a dan hadits, ada hadits Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang miskin.

Hadits tersebut bunyinya: “Allahumma ahyinii miskiinan, wa amitnii miskiinan, wahsyurnii fii jumratil masaakiin”. Artinya: “Ya Allah! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no. 4126) dan lain-lain.

Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya hasan. [Lihat pembahasannya di kitab beliau: Irwaul Ghalil (no. 861) dan Silsilah Shahihah (no. 308)].

Setelah kita mengetahui bahwa hadits ini sah datangnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang perlu kita mengetahui apa maksud sebutan miskin dalam lafadz do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Yang sangat disesalkan di antara saudara-saudara kita, tanpa memeriksa lagi keterangan Ulama-ulama kita tentang syarah hadits ini khususnya tentang gharibul hadits, telah memahami bahwa miskin di sini dalam arti yang biasa kita kenal yaitu orang-orang yang tidak berkecukupan di dalam hidupnya atau orang-orang yang kekurangan harta.

Dengan arti yang demikian maka timbulah kesalahpahaman di kalangan umat terhadap do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, akibatnya:
[1]. Do’a ini tidak ada seorang muslimin pun yang berani mengamalkannya, atau paling tidak sangat jarang sekali, lantaran menurut tabi’atnya manusia itu tidak mau dengan sengaja menjadi miskin.
[2]. Akan timbul pertanyaan: Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya menjadi miskin? Bukankah di dalam Islam ada hukum zakat yang justru salah satu faedahnya ialah untuk memerangi kemiskinan? Dapatkah hukum zakat itu terlaksana kalau kita semua menjadi miskin? Dapatkah kita berjuang dengan harta-harta kita sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan kalau kita hidup dalam kemiskinan?

Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari berburuk sangka kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[3]. Ada jalan bagi musuh-musuh Islam untuk mengatakan: “Bahwa Islam adalah musuh kekayaan!?”

Padahal yang betul maksud miskin di dalam do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini ialah: “Orang yang khusyu dan mutawaadli (orang yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala)”. Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Ulama-ulama kita:

[1]. Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits (2/385) mengatakan:
“Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ….. Yang dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah: tawadlu’ dan khusyu’, dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur”.

[2]. Di kitab kamus Lisanul Arab (2/176) oleh Ibnu Mandzur diterangkan, asal arti miskin di dalam lughah/bahasa ialah = al-khaadi’ (orang yang tunduk), dan asal arti faqir ialah orang yang butuh. Lantaran itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin …..

Yang dikehendaki ialah: tawadlu’ dan khusyu’. dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur. Artinya: Aku merendahkan diriku kepada Mu wahai Rabb dalam keadaan berhina diri, tidak dengan sombong. Dan bukanlah yang dikehendaki dengan miskin di sini adalah faqir yang butuh (harta).

[3]. Imam Baihaqi mengatakan: “Menurutku bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (khusyu’ dan tawadlu’). [Lihat kitab: Sunatul Kubra al-Baihaqi 7/12-13 dan Taklhisul-Habir 3/109 No. 1415 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar]

[4]. Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh al-Imam Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya’ (4/193). [Baca juga syarah Ihya’ (9/272) oleh Imam Az-Zubaidy]

[5]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Hidupkanlah aku” dalam keadaan khusyu’ dan tawadlu’. [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 18/382 bagian kitab hadits]

Beliau juga mengatakan (hal. 326): “…. bukanlah yang dikehendaki dengan miskin (di hadits ini) tidak mempunyai harta …”

[6]. Imam Qutaibi juga mengatakan khusyu’ dan tawadlu’ [Ta’liq Sunan Ibnu Majah (no. 4126) oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi]

Kemudian periksalah kitab-kitab di bawah ini:

[7]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi (7/19-20 No. 2457) oleh Imam Al-Mubaarakfuri.
[8]. Faidhul Qadir Syarah Jami’us Shaghir (2/102) oleh Imam Manawi.
[9]. Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (6/141-142) oleh Imam Nawawi.
[10]. Shahih Jami’us Shaghir (no. 1271) oleh Al-Albani.
[11]. Maqaashidul Hasanah (no. 166) oleh Imam As-Sakhawi.

Setelah kita mengetahui keterangan ulama-ulama kita tentang maksud miskin dalam do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas baik secara lughah/bahasa maupun maknanya, maka hadits tersebut artinya menjadi:

“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan khusyu’ dan tawadlu’, dan matikanlah aku dalam keadaan khusyu’ dan tawadlu’, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang yang khusyu’ dan tawadlu”.

Rasanya kurang lengkap kalau di dalam risalah ini (sebagai penguat keterangan di atas) saya tidak menerangkan dua masalah yang perlu diketahui oleh saudara-saudara kaum muslimin.

Pertama:

Bahwa Islam adalah agama yang memerangi atau memberantas kefakiran dan kemsikinan di kalangan masyarakat. Hal ini dengan jelas dapat kita ketahui.

[1]. Di dalam Islam tedapat hukum zakat (satu pengaturan ekonomi yang tidak terdapat pada agama-agama yang lain kecuali Islam). Sedangkan yang berhak menerima bagian zakat di antaranya orang-orang yang fakir dan miskin (At-Taubah: 60).

Kalau saja zakat ini dijalankan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan dan menurut sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya tidak sedikit mereka yang tadinya hidup dalam kemiskinan—setelah menerima bagian zakatnya—akan berubah kehidupannya bahkan tidak mustahil kalau di kemudian hari merekalah yang akan mengeluarkan zakat.

Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman: “Artinya: Agar supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang yang kaya saja dari kamu”. [Al-Hasyr: 7]

[2]. Islam memerintahkan memperhatikan keluarga (ahli waris) yang akan ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang menadahkan tangan kepada manusia. Kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya: Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia (meminta-minta)”. [Hadits Riwayat Bukhari 3/186 dan Muslim 5/71 dan lain-lain]

[3]. Bahkan Islam mencela kalau ada seorang mukmin yang hidup dalam keadaan cukup sedangkan tetangganya kelaparan dan dia tidak membantunya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya: Bukanlah orang yang mukmin itu yang (hidup) kenyang, sedangkan tetangganya (hidup) lapar di sebelahnya”. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari di kitabnya Adabul Mufrad, dan lain-lain]

Maksudnya: Tidaklah sempurna keimanan sorang muslim itu apabila ia makan dengan kenyang sedangkan tetangganya di sebelahnya kelaparan (kalau hal ini ia ketahui dan ia tidak membantunya dengan memberi makan kepada tetangganya).

[4]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari hidup dalam kefakiran dan kelaparan.

“Artinya: Dari Aisyah (ia berkata): Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a dengan do’a-doa ini: Allahumma dan seterusnya..(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka, dan dari fitnah kubur dan azab kubur, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kekayaan, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kefakiran ….” [Shahih Riwayat Bukhari (7/159, 161). Muslim (8/75 dan ini lafadznya), Abu Dawud (no. 1543), Ibnu Majah (no. 3838), Ahmad (6/57, 207), Tirmidzi, Nasa’i, Hakim (1/541) dan Baihaqi (7/12).]

Kemudian Hadits Abi Hurairah: “Artinya : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya”. [Shahih Riwayat Abu Dawud (no. 1544), Ahmad (2/305,325). Nasa’i, Ibnu Hibban (no. 2443). Baihaqi (7/12)]

“Artinya: Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelaparan, karena sesungguhnya keleparan itu seburuk-buruk teman berbaring, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari khianat, karena sesungguhnya khianat itu seburuk-buruk teman”. [Shahih Riwayat Abu Dawud (no. 1547). Nasa’i dan Ibnu Majah (no. 3354).]

Hadits Abi Bakrah Nufai’ bin Haarits: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan do’a ini di akhir salat:

“Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran dan azab kubur”. [Hadits Shahih atas syarat Muslim di keluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal (5/36,39 dan 44) dan Nasa’i]

Hadits Anas bin Malik: Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan dalam do’anya:

“Artinya : ….Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran/miskin dan kekafiran ……”. [Hadits Shahih atas syarat Bukhari, dikeluarkan oleh Imam Hakim (1/530). dan Imam Ibnu Hibban (no. 2446).]

Kedua:

Islam tidak menjadi musuh kekayaan asalkan si kaya seorang yang taqwa.

Bahkan dengan kekayaan itu seorang dapat memperoleh ganjaran yang besar dan derajat yang tinggi seperti berjihad dengan harta sebagaimana yang Allah perintahkan, menunaikan zakat harta, infaq dan shadaqah, ibadah haji, mendirikan masjid-masjid, pesantren dan sekolah-sekolah Islam, membantu anak yatim dan perempuan-perempuan janda dan lain-lain yang membutuhkan harta dan kekayaan.

Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan Anas bin Malik: “Artinya: Ya Allah ! Banyakkanlah hartanya dan anak-anaknya serta berikanlah keberkahan apa yang Engkau telah berikan kepadanya”. [Hadits Riwayat Bukhari (7/152, 154,161 dan 162). dan lain-lain]

Hadits ini mengandung beberapa faedah.
[1]. Bahwa harta itu adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala.

[2]. Bahwa banyak harta itu tidak tercela atau mengurangi ibadahnya, asalkan dia memang seorang yang taqwa. Bahkan hadits ini kita dapat mengetahui bahwa banyak harta itu merupakan suatu kebaikan dan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena tidak mungkin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada salah seorang shahabat dan pembantunya seperti Anas bin Malik kalau tidak menjadi kebaikan baginya!

[3]. Boleh mendo’akan seseorang supaya banyak hartanya dengan penuh keberkahan.

[4]. Dari hadits ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai mempunyai anak banyak.

[5]. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan Anas bin Malik yang telah terbukti dalam tarikh -berkat do’a Nabi- tidak seorangpun dari shahabat Anshar yang paling banyak harta dan anak selain dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada shahabatnya Hakim bin Hizaam: “Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini indah (dan) manis, maka barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang baik, niscaya mendapat keberkahan, dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang tamak, niscaya tidak mendapat keberkahan, dan ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang, dan tangan yang diatas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta)”. [Hadits Riwayat Bukhari (7/176) dan Muslim (3/94)] [1]

[Disalin dari kitab Al-Masaa’il (Masalah-Masalah Agama) Jilid 2, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam – Jakarta, Cetakan I – Th. 1423H/2002M]

Referensi: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat (https://almanhaj.or.id/2299-salah-faham-terhadap-doa-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html)
(MUL)

Tags
Artikel Terkait
Rekomendasi
Terkini